Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi khawatir produksi migas
terganggu menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan badan
tersebut.
Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) Priyono di Jakarta, Selasa (13/11/2012), mengatakan, putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) itu telah membuat status BP Migas tidak
konstitusional.
"Kalau tidak konstitusional, maka produknya juga inkonstitusional. Kami jadi tak bisa melindungi kepentingan nasional," katanya.
Menurut
dia, pihaknya menangani 353 kontrak, baik kontrak kerja sama maupun
penjualan migas. Setiap tahun, pihaknya mengelola hasil penjualan migas
senilai 70 miliar dollar AS. Hasil tersebut terbagi menjadi 50 persen
bagian pemerintah, 30 persen bagian kontraktor, dan 20 persen biaya
operasi.
Dalam putusannya nomor 36/PUU-X/2012 yang dibacakan Ketua
Majelis Hakim MK Mahfud MD, lembaga itu menyatakan pasal-pasal yang
mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan
tidak memiliki hukum mengikat.
"Selanjutnya, fungsi dan tugas BP
Migas dilaksanakan pemerintah cq kementerian terkait, sampai ada
undang-undang baru yang mengatur hal tersebut," kata Mahfud saat
membacakan putusan pengujian UU Migas.
MK menyatakan frasa "dengan
Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 Ayat (1), frasa "melalui Badan
Pelaksana" dalam Pasal 20 Ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari
Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 Ayat (1), frasa "Badan Pelaksana
dan" dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Seluruh hal yang berkait dengan
badan pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tutur Mahfud.
MK
juga menyatakan, Pasal 1 angka 23, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 41 Ayat (2),
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 Ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan
Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pengujian UU Migas ini diajukan oleh 30
tokoh dan 12 ormas, di antaranya PP Muhammadiyah yang diwakili Din
Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat
Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP
Persaudaraan Muslim Indonesia, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki
Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia.
Selain itu juga Hasyim Muzadi, Komaruddin
Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Sholahuddin Wahid, Laode Ida,
Hendri Yosodiningrat, dan AM Fatwa.
Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi oleh pihak asing.
Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi oleh pihak asing.
Sumber : ANT
0 komentar:
Posting Komentar